Rabu, 24 Agustus 2011

Makalah "Pemerintahan Monarki Daerah Istimewa Yogyakarta"

Oleh: Dika Afrizal
 
I.          PENDAHULUAN
Monarki adalah bentuk pemerintahan yang tertua. Garner menyatakan; setiap pemerintahan yang didalamnya menerapkan kekuasaan yang akhir atau tertinggi pada personel atau seseorang, tampa melihat pada sumber sifat – sifat dasar pemilihan dan batas waktu jabatannya maka itulah monarki. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan propinsi yang sudah banyak diketahui dan diakui tentang keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah yang menyebabkan berbedanya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut dengan Propinsi lain yang ada di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dahulunya merupakan kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang sultan dan sangat berpengaruh besar terhadap kemerdekaan Indonesia pada zaman penjajahan dahulu, serta adanya sistem kesultanan, keraton dan pola-pola kehidupan berbau kerajaan sudah melekat pada masyarakat Yogyakarta. Yang didasar pada itulah Pemerintah memberikan kebebasan serta predikat Istimewa kepada Yogyakarta dimana demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu.
Pernyataan Presiden Republik Indonesia yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada sistem Monarki (Kerajaan) dalam negara yang berdasarkan Demokrasi, yang merupakan sistim resmi di Indonesia. Atas pernyataan tersebutlah yang mengundang berbagai reaksi baik dari Keraton atau Sultan Hamengkubuwono X sendiri yang merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta maupun Kalangan politik dan Pemerintahan.
II.                PERMASALAHAN
Yang menjadi masalah pokok dari “Pemerintahan Monarki di Yogyakarta” yang merupakan judul makalah ini adalah :
·         Apakah sistem Pemerintahan Monarki benar-benar berlaku di Yogyakarta ?
·         Bagaimanakah cara Pemerintah untuk mengatasi kemonarkian Yogyakarta agar tetap sesuai dengan azas demokrasi Indonesia ?
Dari beberapa masalah diatas barangkali dapat menjawab kejelasan tentang polemik monarki Yogyakarta yang terjadi seperti saat ini.



III.             PEMBAHASAN
Sesuai dengan identifikasi masalah diatas hal pertama yang harus dikaji adalah apakah sistem monarki memang benar-benar terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta ?. Jika hal itu memang terjadi maka Pemerintah harus melakukan tidakan atau kebijakan yang tepat dan sesuai agar sistem Pemerintahan seperti yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak menyimpang dari sistem yang dianut Indonesia yakni sistem demokrasi, serta adanya kejelasan tentang sistem yang terjadi di Yogyakarta. Menurut situasi yang terjadi bila dilihat dari sudut pandang secara teoritis, sistem Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dikatakan menganut/memakai sistem monarki yang terlihat dari pemilihan kepala daerah/Gubernur yang dilakukan dari keturunan sultan/raja terdahulu atau turun-temurun yang dimana pemilihan kepada daerah tersebut berbeda dengan Propinsi pada umumnya. Namun bila dinilai dari sudut pandang sejarah serta keadaan yang ada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga tidak bisa dikatakan memakai sistem monarki yang artinya, Indonesia adalah Negara demokrasi yang segalanya ditentukan dan diperuntukan oleh dan kepada rakyat, jadi rakyatlah yang berkuasa penuh didalam penyelenggaraan pemerintahan. Dan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah atas kehendak rakyat, dimana rakyat terutama masyarakat Yogyakarta yang lebih nyaman hidup dengan model/sistem kesultanan yang sudah melekat dari nenek moyang mereka sehingga masyarakat merasa tentram dan nyaman serta tidak adanya paksaan atas kepemilihan kepala daerah/gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan secara turun-temurun. Hal itu terlihat dari dengan adanya berbagai dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Yogyakarta kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X yang merupakan raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta setelah adanya pernyataan dari Presiden tentang kemonarkiaan Yogyakarta. Berbeda halnya dengan arti monarki seutuhnya, yaitu dimana raja bersifat absolute artinya kekuasaan tidak bisa diganggu gugat, dan tentu saja dibalik sistem yang dinilai keras tersebut pastilah menuai ketidak sukaan/kurang nyamannya rakyat terhadap sistem monarki tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa kondisi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlihat adanya pemerintahan monarki, hanya saja sejarah dan pola kehidupan masyarakat Yogyakarta yang membentuk sistem pemerintahan tersebut dan atas dasar itulah diberikannya predikat keistimewaan. 
Dan yang kedua adalah perlunya adanya ketegasan dari status keistimewaan Yogyakarta dari Pemerintah agar didalam penilaian tidak mempersepsikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah monarki. Seperti halnya diberlakukannya Undang-undang di dalam UUD 1945, tentang pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam pasal 18 serta perubahan-perubahannya. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan bahwa "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang." Aturan ini Pasal 18 UUD 1945 tersebut kemudian diturunkan melalui UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU 32 Tahun 2004, banyak sekali diatur mengenai tentang daerah-daerah khusus, yang antara lain termasuk daerah otonomi khusus misalnya Papua dan  Aceh. Secara jelas Pasal 225 menyebutkan bahwa "Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain". Artinya, pemerintah daerah tersebut karena keistimewaan tidak sepenuhnya tunduk pada UU 32 Tahun 2004. Namun sampai saat ini Yogyakarta belum memiliki UU yang secara khusus mengatur tentang keistimewaannya, terutama pasca-perubahan UUD 1945.  Sementara Aceh dan Papua telah memiliki UU yang khusus tentang pengaturan pemerintah daerahnya. Aceh diatur melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara Papua diatur melalui UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, diharapkan Pemerintah dapat memberikan kejelasan tentang status dari Keistimewaan Yogyakarta dengan di berlakukannya Undang-Undang yang memuat tentang keistimewaan Yogyakarta seperti halnya yang dilakukan kepada Aceh dan Papua. Dari undang-undang tersebut nantinya akan lebih memperjelas struktur, bentuk dan posisi Yogyakarta didalam keberadaannya didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta adanya kepastian dan kejelasan tentang keistimewaan yang diberikan sehingga masyrakat khususnya masyarakat Yogyakarta lebih mengerti dan nyaman dengan adanya perhitungan keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan yang terpenting adalah dengan diberlakukannya UU yang mengatur akan keistimewaan Yogyakarta maka predikat tentang kemonarkian menjadi hilang dan menjadikan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tetap belandaskan azas demokrasi.
IV.             PENUTUP
·         Kesimpulan :
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dinilai mengunakan sistem monarki karena pemilihan Kepala Daerah/Gubernur yang dilakukan secara turun-temurun tanpa adanya pemilihan langsung seperti Propinsi lain pada umumnya ternyata masih mengandung nilai-nilai demokrasi. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dikatakan jauh dari kata monarki hal itu terlihat dari keikutsertaan masyarakat didalam pemerintahan, dan juga pemilihan Gubernur yang dilakukan secara turun-temurun itu adalah atas kehendak masyarakat yang dikarenakan unsur tradisi dari nenek moyang masih sangat kental di masyrakat Yogyakarta, yang sehingga Pemerintah harus menghargai dan mengakui adanya keistimewaan tersebut yang ditunjukan dengan membentuk/menyusunkan undang-undang yang secara jelas mengatur tentang keistimewaan Yogyakarta.
·           Saran :
Presiden yang merupakan Kepala Negara dan sebagai pihak tertinggi di Negara ini hendaknya didalam mengeluarkan atau mengemukakan pernyataan harus memikirkan serta menimbang akan seperti apa akibat dari pernyataanya. Dan polemik di Yogyakarta ini, hendaknya dijadikan pelajaran penting bagi Presiden yang dimana ujung pangkal masalah ini adalah berasal dari Presiden sendiri. Serta sesegera mungkin dibentuk Undang-Undang keistimewaan yang mengatur Yogyakarta agar tidak ada kerancuan didalam penyelenggaraan pemerintahan.






DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar llmu Politik, Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi

Makalah "Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Keluarga dan Hukum Waris Adat"


Disusun oleh: Dika Afrizal

I.                   PENDAHULUAN
Demikian dalam perkawinan ada pasangan yang tidak beruntung sehingga lama atau tidak dkikaruniai anak karena takdir Tuhan.sebagai masalah kemanusiaan praktek pengangkatan anak ini sudah berlangsung lama dan secara alamiah, dalam arti karena kebutuhan akan penerus keturunanan. Di Indonesia yang beranekaragam etnis dan budaya, hampir semua daerah mengenal lembaga pengangkatan anak. Sekalipun tujuannya sama yaitu meemperlakukan anak angkat (adoptandus) sebagai anak kandungsendiri oleh oarang tua angkatnya ( adoptan) tetapi alasan atau motiv, tujuan, dan cara atau prosedur pengangkatan anak serta akhibat hukumnya dalam hukum keluarga dan hukum waris adat berbeda antara etnis yang satu dengan etnis yang lain, kendatipun menganut garis keturunan (genealogis) yang sama.




II.                PERMASALAHAN

Bertolak dari uraian dan latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok masalah adalah:
1.      Bagaiman tata cara pengangkatan anak di berbagai daerah di Indonesia?

















III.             PEMBAHASAN
1.      Pengertian Anak Angkat
Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antar orang yang memungut anak dan anak yang di pungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antaraorang tua dengan anak kandungnya sendiri[1]. Pengertian adopsi (pengangkatan Anak) menurut Iman Sudiyat adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar kedalam kerabat, sehingga terjalin ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis[2].
Pengaturan Pengangkatan Anak
     Di Indonesia terdapat kompleksitas aturan mengenai pengangkatan anak. Menurut catatan setidaknya ada 8 aturan yang mengatur langsung maupun tidak langsung tentang adopsi, yaitu:
1.      Statsblad 1917 No. 129 yang hanya berlaku untuk golongan tionghoa, dimana yang dapat di angkat anak adalah anak laki-laki dengan tujuan untuk meneruskan garis keturunan.
2.      Undag-undang No.62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia  khususnya pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2, mengenai pengangkatan anak asing oleh seorang WNI.
3.      Peraturan pemerintah No. 7 tahun 1977 tentang peraturan gaji pegawai negeri sipil, khusunya pada pasal 16 ayat 2 dan ayat 3 tentang tunjangan anak terrnasuk anak angkat.
4.      Undang- undang No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pengangkatan anak diatur dalam pasal 12 ayat (1) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
Ayat (3): pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilaksanakan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan.
5.      Peraturan pemeriintah No. 54 tahun 2007 tentang pengangkatan anak.
6.      Inpres No.1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam, khususnya pada pasal 171 huruf h dan pasal 209 ayat 1 dan 2.
7.      Surat edaran mahkamah agung (SEMA) No. 2 tahun 1979 yo SEMA No. 6 tahun 1983 yo SEMA No. 4 tahun 1989 tentang pengangkatan anak.
8.      Keputusan menteri sosial RI No. 4 tahun 1979 tentang pengangkatan anak, yang dilengkapi dengan peraturan pelaksanaanya No. 41/Huk/Kep/VII/1984 tanggal 14 juli 1984 tentang petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak[3].
Motif dan Tujuan Pengangkatan Anak
      Ada banyak motif dan tujuan pengangkatan anak di Indonesia. Irma Setyowati Soemitro mencatat setidaknya ada 14 motif dan tujuan pengangkatan anak, yaitu:
1.      Tidak mempunyai anak
2.      Belass kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.
3.      Belas kasihan yang disebabkan anak yang bersangkutan yatim piatu.
4.      Hanya mempunyai anak laki- laki maka di angkatlah seorang anak perempun atau sebaliknya.
5.      Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
6.      Menambah tenaga dalam keluarga.
7.      Dengan maksud anak tyang di angkat mendapat pendidikan yang layak.
8.      Unsur kepercayaan.
9.      Menyambung keturunan dan mendapat regeberasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.
10.  Adanya hubungan keluarga. Lagi pula tidak mempunyai anak kandung.
11.  Di harapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tak mempunyai anak.
12.  Nasib si anak tidak terurus oleh orang tuanya.
13.  Untuk mempererat hubungan keluarga.
14.  Anak dahulu sering penyakitan dan selalu meninggal maka anak yang baru lahir di serahkan kepada keluarga atau orang lain untuk di adopsi dengan harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur[4].
Kemudian jika dilihat dai aspek orang tua angkat, maka motiv dan tujuan pengangkatan anak menurut soedaryo Soimin, sebagai berikut:
1.      Perasaan tidak mampu membesarkan anaknya sendiri
2.      Imbalan- imbalan yang di janjikan dalam hal penyerahan anak
3.      Saran- saran dan nasihat dari pihak keluarga atau oarang lain
4.      Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya
5.      Tiddak mempunyai rasa tanggung jawab
6.      Keinginan melepas anaknyakarena rasa malu sebagai akhibat hubungan tidak sah[5].

Prosedur Pengangkatan anak
      Dalam pelaksanaan pengangkatan anak,menurut Irma Setyowati[6] terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam pengangkatan anak antara lain:
1.      Orang tua kandung anak angkat
2.      Adoptan atau calon orang tua angkat
3.      Hakim atau pejabat yang berwenang mengesahka perbuatan tersebut atau orang yang berfungsi untuk hal itu
4.      Orang atau badan hukum yang menjadi perantara untuk adoptan atau orang tua si anak
5.      Anggota keluarga atau anggota masyarakat yang lain yang mendorong atau menghalangi perbuatan pengangkatan anak
6.      Adoptanus atau calon anak angkat.

IV.             KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Cara atau prosedur pengangkatan anak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu secara terang dan tunai. Terang artinya perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dilakukan adan atau disaksikan oleh ketua adat atau pemimpin daerah setempat. Tunai berarti dengan pembayaran atau pemberian benda-benda magis atau uang dari orarng tua angkat  kepada orang tua kandung anak tersebut.
2.      Akhibat hukum dari pengangkatan anak sangat tergantung kepada cara pengangkatan anak. Jika dilakukan secara terang dan tunai maka hubungan anak dengan orang tua kandungnya putus dan hanya mewaris dari orng tua angkatnya. Tetapi jika dilakukan secara tidak terang dan tidak tunai maka hubungan anak dengan
3.      orang tua kandungnya tidak putus serta dapat mewaris dari dua sumber yaiti orang tua kandung  dan orang tua angkatnya.
4.      Setidaknya ada 9 perangkat hukum yang mengatur langsung maupun tidak langsung tentang pengangkatan anak, ternasuk menurut hukum adat[7].

DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S, 1997, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Semarang: Dahara Prize.
Sudiyat, Iman, 1990, Hukum Adat Sketsa Adat, jakarta: Pradnya Paramita.
Wignjodipoero, Soerojo, 1989, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV.Haji Masagung.







































[1] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: CV.Haji     Masagung, 1989), hal.

[2] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hal.102.


[3] Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit, hal. 120.
[4] Irma setyowati Soemitro, Aspek Perlindungan Anak, (Jakarta:Bumi Aksar,1990),hal.40.
[5] Soedaryo soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta:Sinar Grafika,2000),hal.28.
[6] Irma Setyowati Soemitro, Op.Cit, hal.39.

[7] Soerojo Wignjodipoero, Loc.Cit.

Makalah "Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia"

Oleh: Dika Afrizal
 

1.      Latar Belakang

          Salah satu topik yang menjadi materi bahasan sosiologi hukum adalah pandangan bahwa hukum itu tidak otonom seperti yang sering dikemukakan oleh pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, hukum itu tidak jatuh begitu saja dari langit, melainkan tumbuh dan berkembang bersama pertumbuhan masyarakatnya.
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan masyarakat.
Kenyataan ini sering memberi kesan bahwa pengetahuan hukum sekarang ini jauh dari pengetahuan sosiologi, malah tak jarang dianggap ahli hukum tidak perlu pengetahuan sosiologi akan tetapi kesan ini tidak sesua dengan kenyataan karena pengetahuan hukum apabila dicermati akan dijumpai banyak unsur-unsur yang menghubungkan aturan-aturan oleh individu-individu tertentu dalam hubungan mereka satu sama lain yang menjadi kenyataan-kenyataan sebagai anggota masyarakat.
Untuk memperhatikan pengetahuan sosiologi, maka peran tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang meletakkan dasar bagi perkembangan pengetahuan sosiologi seperti ibnu khaldum, August Comte, karl max, Henry Maine, Emile Durkheim, max weber dan vilfred paret, memberi tempat penting bagi aturan-aturan hukum dalam teori sosiologi masing-masing. Mereka tidak bisa membayangkan masyarakat tanpa hukum sehingga dengan sendirinya, teori sosiologi mereka kembangkan untuk dapat menanggapi, mempelajari, menganalisa dan menjelaskan kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh kehidupan sosial para anggota suatu masyarakat untuk mentaati hukum yang berlaku.

     Tentu saja amat penting bagi seseorang yang hendak mempelajari hubungan antara hukum dan kenyataan yang diwujudkan oleh kehidupan sosial anggota – anggota masyarakat tertentu, untuk mengetahui dimana letak tempat aturan-aturan hukum didalam kerangka teori sosial tertentu, memperlihatkan bagaimana pencipta atau pengembang teori yang bersangkutan menanggapi hubungan antara aturan hukum, yang dalam hal ini juga dianggap merupakan kenyataan sosial, dengan kenyataan sosial lainnya, seperti agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik peranata-pranata, kesatuan sosial atau kelemahan teori ini dalam usaha tersebut.
Teori sosiologi yang dimaksud disini adalah teori yang menyeluruh sifatnya sebagai suatu kerangka pemikitan yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan yang sangat khusus seperti menulis surat kepada seseorang relasi sampai perwujudan tindakan yang dilakukan oleh orang banyak secara serentak, seperti revolusi dan perang, tentu pada tarif perkembangan pengetahuan sosiologi sekarang ini tidak ada teori sosiologi yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan sosial yang terjadi setiap kenyataan sosial.
Sosiologi seperti ilmu ekonomi dan ilmu politik merupakan suatu bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial, suatu lapangan pengetahuan mengenai kehidupan sosial manusia yang mempunyai kepercayaan pengetahuan, ide-ide perasaan sebagainya, yang menjadikan tindakan manusia sangat kompleks ruwet untuk dipelajari dan dijelaskan karena sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan ideologi dan sebagainya yang merupakan bagian dari kepribadiannya.
Karl Marx misalnya mengembangkan suatu teori yang menanggapi aturan-aturan hukum yang berlaku disuatu masyarakat tertentu sebagai suatu akibat dari bentuk sistem hubungan produksi pada tahap perkembangan tertentu yang menempatkan sejumlah orang tertentu sebagai suatu klas penguasa yang menggunakan organisasi negara untuk melindungi kepentingan mereka bersama sebagai pemilik alat produksi, kerangka teori ini merupakan satu-satunya teori yang dibenarkan dinegara-negara komunis.
Suatu kerangka teori yang digambarkan oleh telcott persont bahwa suatu sistem tercipta untuk memenuhi kebutuhan tertentu masing-masing unsur yang merupakan bagian dari suatu sistem tertentu yang mempunyai fungsi berhubungan dengan kebutuhan sistem yang bersangkutan untuk mempertahankan keseimbangan bilamana suatu sistem tidak dapat dipertahankan keseimbangan maka sistem yang bersangkutan bisa lenyap atau hilang.

Menurut parsons, setiap sistem menghadapi 4 (empat ) masalah dasar yaitu (1) masalah adaptasi atau pengusahaan fasilitas yang diperlukan untuk memungkinkan kelangsung sistem yang bersangkutan.
(2) masalah tujuan atau penentuan tujuan yang hendak di capai;
(3) masalah mempertahankan pola-pola atau usaha untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh tekanan-tekanan dari dalam maupun dari luar dan
(4) masalah integrasi atau koordinasi unsur-unsur yang berbeda tapi merupakan bagian dari sistem yang bersangkutan dalam usaha mempelajari kenyataan-kenyataan sosial maka perlu dibedakan dan dievaluasi mengenai gejala sosial yang diwujudkan dari 4 (empat) sistem secara herarki pengaturan yaitu sistim budaya, sistem sosial dan sistem kepribadian.

2.   Pembahasan

      Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia
Mengapa perlu membudayakan hukum dalam masyarakat ? bukankah hukum merupakan bagian dari kebudayaan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu timbul oleh karena kebudayaan mencakup ruang lingkup yang sangat luas dan demikian pula halnya dengan hukum.
Masalah pembudayaan hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta. Problematikanya sebenarnya berkisar pada bagaimana membudayakan suatu sistem hukum yang diimport dari masyarakat lain atau bagaimana cara melembagakan system hukum yang di Introdukser oleh golongan yang berkuasa problem tersebut harus diatasi apabila yang menjadi tujuan adalah mengefektifkan hukum.
      Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut opini public para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum (Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2)
Sehubungan dengan catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan pembudayaan hukum hanya akan dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.
Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan masyarakat yang telah melembaga. Mengutip pendapat Van Kant, Apeldoorn pernah menyatakan bahwa hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa hasil yang memuaskan, akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu adanya pegangan sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan beberapa arti hukum sebagaimana diberikan oleh masyarakat .
Apabila ditelaah arti-arti yang berikan oleh masyarakat pada hukum maka dapat diidentifisir anggapan-anggapan sebagai berikut :

a. Hukum sebagai suatu disiplin yaitu system ajaran – ajaran tentang hukum sebagai suatu kenyataan.
b. Hukum sebagai ilmu yang mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengetahuan
c. Hukum sebagai kaidah yaitu suatu pedoman mengenai priketuhanan yang sepantasnya atau yang diterapkan.
d. Hukum sebagai perilaku yaitu tingkah laku yang diwujudkan secara teratur.
e. Hukum sebagai pejabat atau penguasa
f. Hukum sebagai keputusan-keputusan pejabat atau penguasa.
g. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai atau konsep-kosep mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
h. Hukum sebagai tata hukum yaitu struktur hukum beserta unsur-unsurnya.
     
Sebagai suatu ilustrasi dapat dikemukakan apa yang digambarkan didalam repelita II Bab 27 sebagai fungsi hukum yaitu :
” Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah kadernisasi menuju tempat kemajuan pembagunan disegala bidang sehngga tercapai ketertiban dan kepastian hukum untuk mewujudkan pembinaan kesatuan bangsa dibidang tata hukum.
Konsep pemberdayaan oleh M. Hers Kovets di artikan sebagai proses belajar baik melalui imitasi, sugesti, identifikasi, maupun simpati melalui ide-ide menyeber dari sumbernya sampai ide-ide tersebut diadapsi oleh warga-warga masyarakat kepada siapa ide-ide tadi ditujukan.
Apabila ditinjau dari sudut fungsinya maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengadakan pembaharuan dan juga sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial. Mana yang diutamakan senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang dipermasalahkan sehingga sering kali ke 3 fungsi tersebut berkaitan dengan eratnya.
      Apabila perhatian dicurahkan pada fungsi hukum untuk memperlancar proses interaksi sosial maka hal itu berkaitan erat dengan masalah apakah orientasi pembentukan hukum tertuju pada pribadi atau tertuju pada perbuatannya. Perbedaan tersebut menerangkan bersifat akademis, akan tetapi dapat mempermudah mengadakan analisa terhadap masa pemberdayaan hukum dalam masyarakat. Pada hukum yang tekanannya diletakkan pada orientasi pribadi, timbullah masalah-masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana sikap dan perikelakuan seseorang
b. Apakah kemampuan-kemampuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan tersebut
c. Bagaimanakah pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola interaksi sosial.

Pada pembentukan hukum yang orientasinya tertuju pada perbuatan, maka fokus utamannya adalah apakah yang terjadi didalam kenyataan, menurut Arnold M. Rose, pola-pola interaksi sosial didalam masyarakat dapat digolongkan ke dalam :

1. Pola tradisional yang terjadi apabila warga masyarakat diperikelakuan terhadap warga-warga lainnya atas dasar norma dan kaidah dan nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat.
2. Pola Audience yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian yang sama yang diajarkan oleh suatu sumber secara individual.
3. Pola publik yang merupakan interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
4. Pola Crowd yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan keadaan-keadaan fisiologis yang sama.

Hukum akan memperlancar proses interaksi pada masyarakatnya dengan pola traditional integrated group, apabila hukum yang berlaku buka merupakan hal yang baru, akan tetapi sudah merupakan unsur yang melembaga dalam masyarakat. Kalau dinterduser suatu sistem hukum baru, maka biasanya masyarakat mempunyai pola interaksi Audience atau publik, oleh karena itu sangatlah penting kedudukan dari para pelopor pembudayaan hukum dalam menggunakan cara-cara dan alat-alat komunikasi keadaan ini akan lebih sulit apabila hukum baru yang di introduser dimaksudkan untuk merubah nilai-nilai yang berlaku.
     Warga-warga masyarakat pada umumnya cenderung untuk bertingkah laku menurut suatu kerangka atau pola perilakuan yang sudah membudaya dan apabila timbul perbuatan yang melanggar hukum biasanya warga masyarakat berperilaku menurut sistem normatif yang dipelajarinya didalam kerangka sosial dan budaya.
Pemberdayaan hukum dalam masyarakat dapat mengalami hambatan-hambatan yang antara lain disebabkan karena kenyataan-kenyataan sebagai berikut:

a. Tata cara atau prosedur hukum sangat lamban
b. Seringkali hukum dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang bersifat seketika.
c. Adanya asumsi yang kuat dikalangan hukum, bahwa hukum yang sesuai dengan sendirinya berlaku
d. Kewibawaan hukum sering kalah oleh kewibawaan bidang-bidang kehidupan lainnya.
e. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pembudayaan hukum.
f. Adanya kalangan-kalangan tertentu yang merasa dirinya tidak terikat pada hukum yang telah dibentuknya.

Dari beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi efektifitas pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil oleh karena itu perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu tanpa adanya kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin pada suatu saat hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan maupun fungsinya.

3.   Kesimpulan

Dari apa yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan hukum dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berhasil tidaknya pembudayaan hukum dalam masyarakat, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, terkait nilai-nilai hukum yang dianutnya, bidang-bidang kehidupan sasaran budaya hukum, alat-alat dan cara komunikasi huku, kwalitas pemimpin.
2.Terdapat suatu asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui hukum yang berlaku masalahnya apa benar demikian.
3. Masyarakat mematuhi hukum biasanya karena takut pada sanksi negatifnya untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan warga masyarakat lainnya.

4.Saran-Saran:

A.Pemberdayaan hukum seyogyanya diarahkan pada kesesuaian antara hukum dengan nilai-nilai yang dianut warga masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang dengan tegas menunjang budaya hukum.
B.Selama para warga masyarakat masih berpaling pada pemimpin-peminpinnya maka berhasil tidaknya pembudayaan hukum senantiasa dikaitkan dengan pembenaran teladan oleh pemimpin-pemimpinnya.






























DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, Palu ; Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2003.
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
------------, Ilmu Hukum Bandung, Alumni, 1982
Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa, 1981.
------------, dan Mustafa Abdullah Sosiologi Hukum, dalam Masyarakat, Jakarta, CV. Radjawali Press, 1982.
------------, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum, Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Bandung, Alumni, 1982.